AMAZING FAMILY

Senin, Mei 01, 2006


KETENANGAN BERANJAK
dari PONDOK PESANTREN
AL ISLAM
Sabtu, 9 November 2002
LAMONGAN, Sinar Harapan – Pekan lalu mungkin menjadi waktu terakhir bagi seluruh warga Dusun Tenggulun, Desa Tenggulun, Kecamatan Solokuro, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur, untuk menikmati nuansa tenang dan damai kampung mereka. Sejak Selasa (5/11) siang, suasana dusun yang terletak di bukit kapur pantai utara Lamongan itu terusik.


Mereka tidak menduga 'keributan' kecil yang terjadi Selasa siang itu ternyata berdampak internasional. Maklum, puluhan polisi yang datang dengan beberapa truk tengah mencari Amrozi (35 th), warga Tenggulun yang menjadi tersangka pengeboman di Kuta Bali, 12 Oktober lalu.

Sejak itulah, 'sedikit kebisingan' mengusik dusun yang berjarak sekitar 8 km dari jalan utama pantura Tuban - Gresik tersebut. Polisi mapun puluhan wartawan dalam dan luar negeri silih berganti mendatangi.

Yang paling diusik adalah keluarga besar Pondok Pesantren Al Islam yang berada di Dusun Tenggulun. Masalahnya, Amrozi disebut sebagai orang yang memiliki keterkaitan dengan Ponpes yang didirikan tahun 1992 itu.

“Kami jadi lebih sibuk. Kalau diterima, kegiatan kami jadi terganggu. Namun, kami akan berdosa kalau tidak menerima karena Islam mewajibkan umatnya untuk menerima siapapun tamunya,” ujar Nur Fitrotulloh, salah seorang pengasuh Ponpes Al Islam saat menemui SH di Masjid Pondok, Jumat (8/11) siang.

Ponpes dengan 154 santri itu disebut-sebut terkait dengan jaringan teroris internasional Jamaah Islamiyah yang tokoh pengendalinya adalah pemimpin Ponpes Al Mukmin Ngruki, Sukoarjo, Abu Bakar Ba’asyir.

Saat menangkap Amrozi, polisi menggeledah pula Ponpes tersebut. Tak menemukan rekan Amrozi bernama Burhan, polisi menyita sebilah golok yang biasa dipakai menyembelih hewan kurban, 1 teleskop, 4 kaset video, 4 kaset, 9 buah petasan ukuran dua jari, 10 lembar foto, dan sebuah kartu telepon seluler, satu-satunya alat komunikasi Ponpes mengingat Dusun Tenggulun belum dilayani sambungan telepon milik PT Telkom.

Para pengasuh Ponpes Al Islam membantah pesantrennya terkait dengan Amrozi. “Pesantren Al Islam tak ada kaitannya dengan isu teroris yang dituduhkan kepada Pak Abu Bakar Ba`asyir. Sebuah tuduhan keji jika hanya mendasarkannya dengan adanya seorang pengasuh di sini lulusan Pesantren Al Mukmin Ngruki Solo,” tegas Uztadz Syuhada.

Diakuinya, Abu Bakar Ba’asyir memang dua kali datang ke Al Islam. Namun, itu pun dalam kaitan memberi pembekalan kepada para santri yang akan dilepas setelah lulus dalam pendidikan.

“Terakhir, beliau datang pada Juni 2002. Tak ada kegiatan selain mengaji dan memberi pembekalan kepada santri yang akan dilepas,” kata Ustadz Ja’far Shodiq, pengasuh lainnya yang juga kakak kandung Amrozi.

Bukan Santri

Penolakan tegas juga dikeluarkan seluruh civitas Ponpes tentang klaim aparat bahwa Amrozi adalah santri Al Islam, meski salah seorang pendirinya Uztadz Khozin adalah kakak kandung tersangka pengeboman Bali itu.

Amrozi adalah putra keenam dari delapan bersaudara pasangan suami-istri, H Nur Hasyim dan Tariem. “Logikanya di mana? Usianya kini sudah 35 tahun, sedangkan Ponpes ini baru mulai tahun 1993 aktif menerima santri dengan usia antara 12 hingga 18 tahun,” ungkap Syuhada.

Meski tak pernah menjadi santri Al Islam, Amrozi memang rajin shalat di Masjid Ponpes sepulang menjadi TKI di Malaysia tahun 1997. Hanya aktivitas beribadah itulah yang selama ini dilakukannya jika berkunjung ke Ponpes Al Islam.

Syuhada juga menolak pengakuan Amrozi yang menyebut diri terlibat dalam pengelolaan konsumsi Ponpes Al Islam. “Kalau konsumsi, pengendalinya, ya, Nur Fitrotullah ini. Amrozi ke sini hanya sebatas berjamaah,” tegasnya.

Karena itu, nyaris seluruh warga Dusun Tenggulun tidak mempercayai kepiawaian Amrozi menjadi pelaksana peledakan yang meluluhlantakkan Sari Club dan Paddy’s Irish Pub. Selain hanya lulusan Madrasah Ibtidaiyah (setingkat SD), keahlian Amrozi hanyalah seorang montir kendaraan bermotor dan jual beli kendaraan bekas. Berbeda dengan saudara-saudaranya yang gemar menuntut ilmu di Ponpes, Amrozi tak pernah jadi santri.

Ponpes Al Islam didirikan pada 1993 oleh Uztadz Muhammad Zakaria dan Uztadz Khozin (kakak kandung Amrozi) di Dusun Tenggulun, Desa Tenggulun. Lokasi Desa Tenggulun terletak di bukit kapur, sekitar dua km di balik makam Sunan Drajad di kecamatan Paciran Lamongan. Letaknya cukup terpencil karena angkutan umum berakhir di ibu kota kecamatan yang berjarak sekitar tiga km dari Desa Tenggulun.

“Dua pekan sekali, santri yang bertugas belanja rela berjalan kaki ke pasar di kecamatan. Berangkat pagi, pulang sore hari,” kata Nur Fitrotulloh.

Kesederhanaan, kalau tak mau disebut kemiskinan, masih melingkupi Ponpes yang berdiri di atas tanah tegalan seluas kurang lebih 2000 meter persegi itu. Kompleks Al Islam terdiri dari lima bangunan besar dengan sebuah masjid yang sebenarnya layak disebut langgar (tempat salat khas pedesaan) berukuran 10 X 10 meter.

Bangunan terdepan yang terdiri dari tiga kelas dengan lantai semen dan berdinding kayu dipergunakan untuk ruang kelas. Di sisi utara terdapat bangunan yang terbagi menjadi empat ruang tidur santri putra. Setiap ruang dihuni sekitar 18–20 santri yang rela tidur beralaskan tikar di atas lantai semen.

Gedung lain dengan ukuran sama dipergunakan untuk ruang belajar sekaligus kadang-kadang difungsikan sebagai dapur. Satu-satunya bangunan bertingkat adalah untuk santri putri berada di belakang Masjid Ponpes yang dipisahkan sebuah pagar seng setinggi dua meter.

Masak kondisi seperti ini layak dikaitkan dengan teroris internasional yang kabarnya memiliki uang jutaan dolar,” kata Syuhada yang mengantar SH melihat kondisi seluruh bangunan.

Seluruh biaya operasional Al Islam, kata Syuhada, bersumber dari uang sekolah yang dibayar para santri sebesar Rp 97.500,00 setiap bulannya. Uang itu merupakan biaya memondok yang terdiri dari uang pendidikan, penginapan, makan, dan aktivitas lain di Ponpes Al Islam.

“Kami tak pernah menerima dana bantuan dari siapapun. Kalaupun ada, paling-paling donatur seikhlasnya dari wali santri,” tuturnya. Total di Al Islam terdapat 87 santri putra dan 67 santri putri. Mereka dididik oleh 20 pengasuh putra dan 10 orang pendidik putri lulusan berbagai Ponpes di sekitar kabupaten Lamongan.

Uztadz Zakaria adalah satu-satunya pengasuh lulusan Ponpes Al Mukmin Ngruki Solo pimpinan Abu Bakar Ba’asyir, tahun 1992 lalu. (SH/dwi budiono)

0 komentar: