Didamprat Pelatih Persebaya
Dalam sejarah 17 tahun karirku menghadapi sumber berita selama berkecimpung di dunia jurnalistik, mungkin hari ini pertama kali kejadian buruk menimpaku. Kamis, 26 November 2008, pertama kali aku didamprat Freddy Muli, pelatih Persebaya Surabaya.
Agak mengejutkan, karena fakta yang membuatku didamprat itu bukan karena ulahku sendiri. Namun sebagai akibat dari pemberitaan media lain yang dinilai merugikan, mengecewakan, melecehkan sumber berita.
Berangkat dari rumah dengan satu tujuan, Mess Persebaya, memenuhi undangan rapat panitia pertandingan Persebaya Surabaya menghadapi Gresik United dalam Piala Copa Djie Sam Soe 2008/2009.
Nyatanya, jalan yang ditetapkan Yang Maha Kuasa, lain dari rencanaku. Dalam perjalanan, Ram radar, rekan sesama Humas Persebaya, memintaku mampir ke Kantor KONI Kota Surabaya. Akibatnya, aku terlambat mengikuti rapat, karena hujan deras tak mau kompromi sehingga menahanku di KONI Surabaya. Menunggu hujan reda.
Sesampai di Mess Persebaya, rapat sudah selesai. Ngobrol sejenak dengan para jurnalis muda. Tak lama, sejumlah pemain tim berjuluk Green Force, naik ke lantai dua. Rupanya, program latihan sore itu sudah selesai.
Seperti biasa, para jurnalis menanti kehadiran sang pelatih. Masuk dengan muka sudah agak masam, yang akhirnya aku sadari rupanya sudah menyimpan uneg-uneg yang harus 'dimuntahkan', Freddy langsung duduk di kursi depan. Siap melayani para jurnalis.
Pertanyaan pertama dijawab mantan pemain Gelora Dewata Bali itu dengan nada ketus. Ini yang aku rasakan. Selanjutnya, justru nada, suara dan materi omongan yang muncul, keras terus.
Misalnya, “Siapkah menghadapi GU?” kataku mengawali wawancara.
“Kita ini profesional. Lawan siapa saja harus siap!” jawabnya.
“Termasuk menghadapi main malam?” timpal Eko, jurnalis Radar Surabaya melanjutkan.
Rupanya, nadanya kian tinggi. “Mau main subuh, pagi, siang atau malam, siap saja. Persebaya ini tim besar. Mosok pertanyaan seperti itu!” timpal Freddy.
Saat itu, aku sudah menyadari, suasana yang terbangun tidak kondusif lagi. Apalagi, mas Pangat, Humas Persebaya, juga memegang pahaku, tanda bagiku untuk tidak melayani. Karena itu, aku langsung pasif saja. Membiarkan saja jurnalis lain melanjutkan wawancara.
Aku bahkan lebih memilih melayani Edy, salah seorang ofisial Persebaya, yang menanyakan keberadaan faksimili dari BLI. Surat tentang persetujuan pertandingan Gresik United vs Persebaya digelar di Gelora 10 Nopember Tambaksari Surabaya itu tengah disalin para jurnalis untuk bahan tulisan.
Kedatangan Edy memaksaku untuk menggeser posisi duduk. Sambil menjawab Edy, aku memiringkan tubuh, sehingga tidak lagi bisa menatap langsung Freddy Muli.
Saat kembali memalingkan pandangan kembali ke Freddy, tiba-tiba pelatih Persebaya itu langsung menghardik. “Apa kamu? Kok lihat saya seperti itu. Kayak meremehkan saja!”
Kaget dengan nada ucapannya, saya tanya, “Memangnya ada apa?”
“Kamu kok lihatnya seperti itu. Mosok menulis komentar dari Andi Slamet seperti itu. Yang bilang, pemain gak loyal lah. Komentator macam opo itu!” katanya.
Selanjutnya, suasana menjadi serba tak enak (lebih baik tidak usah saya deskripsikan untuk menjaga agar tidak ada yang malu. Kalau masih penasaran, Dinar Jawa Pos, Baud Memorandum, Ram Radar Surabaya, Eko Radar Surabaya, Fat Surya, Gembos Surabaya Pagi, Rizal Bola, jurnalis JTV dan beritajatim.com, bisa menjadi saksi).
“Saya baru saja melayani pertanyaan orang. Anda punya masalah ta?” tanyaku dengan nada tenang.
“Kamu tidak baca Jawa Pos hari ini?” tanyanya.
“Saya tidak baca,” jawabku tetap tenang.
Freddy tak menjawab, insyaAllah, mungkin menyadari salah sasaran. Setelah itu dia agak merendahkan nada suaranya. Tak disangka, nada suaranya kembali meninggi bahkan diikuti sikap tak layak sebagai seorang publik figur. Misalnya menggebrak-gebrak meja.
Rupanya, sikap Freddy yang menurut saya buruk, karena terkesan membabi buta, itu dipicu tulisan di Jawa Pos. Isinya tentang komentar Andi Slamet yang menilai pemain tidak loyal terkait masalah gaji, yang belum terbayarkan.
Jika tidak salah kutip, maaf kalau salah, gaji pemain belum terbayarkan selama dua bulan. Termasuk uang kontrak Freddy yang hingga kini belum terselesaikan. Ini akhirnya terbuka saat beradegan 'marah-marah' tanpa awal yang jelas.
Dari kejadian itu, aku hanya bisa menarik kesimpulan, sumber berita yang satu ini tidak kompeten sebagai narasumber. Dia tidak paham bagaimana bertindak sebagai seorang publik figur. Malas mempelajari 'kode etik' di dunia jurnalistik.
Meski tidak ada korelasinya, tapi posisi dan jabatannya sangat memerlukan media massa. Sehingga seharusnya paham bagaimana menyampaikan keberatan dan menggunakan hak jawab. Memahami bagaimana menghadapi tulisan yang mungkin merugikan. Ini menjadi bagian tak terpisahkan, minimal untuk menjaga kebesaran namanya sebagai seorang pelatih, yang sudah 'dibesarkan' jurnalis.
Sejujurnya, aku amat menyadari posisinya yang sulit. Menghadapi tekanan dari manajemen dan publik Surabaya untuk terus mengantar Persebaya berprestasi. Di sisi lain, dia juga mendapat 'tekanan' dari anak asuhnya, yang hingga tulisan ini kubuat, masih juga belum terselesaikan pembayaran gajinya.
Karena itu, sesaat setelah menutup sesi wawancara, aku langsung membalas jabatan tangannya ketika pamit untuk mandi seusai melatih arek-arek Green Force. Tapi apapun, ini adalah pengalaman terbaik dan paling mengejutkan selama karirku. (*)
Lengkapnya »»»
Jumat, November 28, 2008
Langganan:
Postingan (Atom)